pecinta pasar tradisional
Total Tayangan Halaman
Kamis, 25 November 2010
GARUDA
Jakarta - Untuk menuntaskan kekacauan jadwal penerbangan Garuda Indonesia, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mendesak Kementerian Perhubungan (Kemenhub) untuk membentuk tim investigasi.
"Dephub sebagai pihak regulator harus membentuk tim investigasi independen, supaya carut-marut Garuda bisa diketahui secara transparan dan mendetail," kata Ketua FPKB, Marwan Jafar kepada INILAH.COM, Kamis (25/11/2010).
Tim ini, kata anggota Komisi III DPR tersebut, perlu juga melakukan investigasi terhadap PT Aero System Indonesia (Asyst), anak perusahaan Garuda, yang menjadi operator sistem penerbangan Garuda yang kacau-balau.
Ia berpendapat, Meneg BUMN juga harus menegur jajaran direksi dan mengevaluasi kinerja direksi Garuda. "Meneg BUMN harus tegas menegur jajaran direksi Garuda, sekalian harus dilakukan evaluasi kinerja direksinya," tukasnya.
Soal tuntutan mundur Dirut PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar, Jafar menyerahkan ke Meneg BUMN. "Penyegaran Dirut itu di tangan Menneg BUMN. Ukurannya kinerjanya bagus apa nggak. Kalau nggak bagus silahkan Menneg BUMN mengevaluasi Dirut," tukasnya.
Marwan juga menegaskan partainya akan menginstruksikan kader-kadernya di Komisi V DPR untuk membentuk Panja soal Garuda. "Kami akan menginstruksikan kader PKB di Komisi V untuk membentuk Panja," tegasnya. [mah]
"Dephub sebagai pihak regulator harus membentuk tim investigasi independen, supaya carut-marut Garuda bisa diketahui secara transparan dan mendetail," kata Ketua FPKB, Marwan Jafar kepada INILAH.COM, Kamis (25/11/2010).
Tim ini, kata anggota Komisi III DPR tersebut, perlu juga melakukan investigasi terhadap PT Aero System Indonesia (Asyst), anak perusahaan Garuda, yang menjadi operator sistem penerbangan Garuda yang kacau-balau.
Ia berpendapat, Meneg BUMN juga harus menegur jajaran direksi dan mengevaluasi kinerja direksi Garuda. "Meneg BUMN harus tegas menegur jajaran direksi Garuda, sekalian harus dilakukan evaluasi kinerja direksinya," tukasnya.
Soal tuntutan mundur Dirut PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar, Jafar menyerahkan ke Meneg BUMN. "Penyegaran Dirut itu di tangan Menneg BUMN. Ukurannya kinerjanya bagus apa nggak. Kalau nggak bagus silahkan Menneg BUMN mengevaluasi Dirut," tukasnya.
Marwan juga menegaskan partainya akan menginstruksikan kader-kadernya di Komisi V DPR untuk membentuk Panja soal Garuda. "Kami akan menginstruksikan kader PKB di Komisi V untuk membentuk Panja," tegasnya. [mah]
DPR Terjebak Kepentingan Parpol yang buta sama uang
PERSAINGAN kepentingan partai politik (parpol) terus merebak dalam rangka menggegolkan kepentingan parpol masing-masing dalam perdebatan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Pemilu).
Kebuntuan pembahasan muncul karena perbedaan pendapat antar partai politik di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi PAN menginginkan anggota KPU Netral. Sementara itu tujuh fraksi lainnya yaitu Fraksi Partai Hanura, Fraksi Partai Gerindra, Fraksi PPP, Fraksi PKB, Fraksi PKS, Fraksi PDIP, dan Fraksi Partai Golkar menginginkan keterlibatan partai dalam KPU.
Perdebatan hanya berkutat pada rekrutmen keanggotaan KPU yang independen atau tidak. Kepentingan parpol adalah keinginannya memasukkan anggota partainya yang gagal dalam pemilu legislatif 2009, apalagi anggota partainya yang gagal rata-rata tak bisa dipungkiri merupakan mantan anggota DPR periode 2004 lalu, yang juga merupakan anggota Pansus UU Paket Politik.
Namun, keinginan tersebut ditutupinya dengan argumentasi atas kasus Anas Urbaningrum dan Andi Nurpati yang merupakan dua mantan anggota KPU yang setelah pemilu langsung duduk sebagai pemimpin partai dalam Partai Demokrat, artinya independensi tidak menjamin ketidakberpihakan.
Permasalahan yang sama tentang independen atau tidak, juga pernah dilakukan oleh Partai Politik yang menginginkan masuk dalam lembaga DPD, akhirnya melalui UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif, keinginan tersebut berhasil tercapai hingga sekarang tak dapat diganggu gugat dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa syarat “bukan pengurus dan/atau anggota partai politik” untuk calon anggota DPD bukan merupakan norma konstitusi yang implisit.
Lagi-lagi alasannya waktu itu, karena keanggotaan DPD periode 2004 lalu juga tidak sepenuhnya independen. adahal alasan yang sebenarnya, di partai ada ketentuan yang menyatakan orang yang sudah dua kali di DPR atau lebih, di partai-partai tertentu, dia tidak boleh lagi masuk di DPR. Sementara, kalau misalnya orang ini mau berkiprah lagi di politik, di Senayan. Dia bisa masuk kesempatannya hanya melalui DPD.
Yang patut digarisbawahi dari perdebatan dalam pembahasan revisi UU Penyelenggara Pemilu adalah Partai Politik telah salah dengan mempersalahkan kelembagaan misal KPU yang dianggap tidak netral. Padahal jika dianggap ada yang tidak netral, adalah orangnya bukan institusinya. Bahkan, kita juga telah memahami perdebatan yang dilakukan Komisi II DPR selama ini jelas menunjukkan hanya untuk kepentingan jangka pendek setiap partai politik. (•)
busyro dan KPK
Jakarta – Pengamat Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Tubagus Januar Soemawinata mengingatkan agar pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang baru terpilih, Busyro Muqoddas agar benar-benar menjalankan amanat pemberantasan korupsi sesuai yang diharapkan publik. Jangan terkooptasi penguasa, takut denagn tekanan pihak-pihak tertentu, dan tebang pilih dalam melakukan tugasnya di lembaga anti korupsi.
“Kalau Busyro Muqoddas ternyata mencla-mencle dan tidak tegas memberantas, tidak seusai dengan janjinya dalam fit and proper test di depan DPR yang sanggup memberantas kasus-kasus besar seperti skandal Century dan kasus mafia pajak Gayus Tambunan, dia akan dihabisi oleh publik yang sekarang ini sudah geram dengan maraknya korupsi di Indonesia dan bejatnya moral aparat hukum,” tutur Januar di kampus Unas, Kamis (25/11/2010).
“Jika ternyata Busyro nanti tidak konsisten dan konsekuan dalam pemberantasan korupsi, maka dia akan diserbu oleh para demonstran dan posternya diinjak-injak. Nasibnya tidak berbeda seperti Boediono yang diteriaki maling oleh demo di DPR. Bahkan, nasib Busyro bias lebih buruk mirip Ariel Peterpan yang semula terhormat tapi akhirnya terhina,” imbuhnya.
Oleh karena itu, menurut Januar, Busyro mestinya tidak usah menajdi pimpinan KPK yang akan mendapat sorotan publik terus menerus. Kalau Busyro selama ini namanya harus sebagai dosen UII dan Ketua Komisi Yudisial (KY), lanjutnya, kini kredibilietasnya bisa jatuh mendadak jika misalnya taktu mengsuut skandal Century dan kasus Gayus. “Ini sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya,” seru mantan aktivis ini.
Jadi, tegas Januar, kalau memang Busyro setengah hati menjadi pimpinan KPK, seharsunya dulu tidak usah maju saja. “Boleh saja Busyro sementara ini dikenal sebagai figur yang bersih, jujur dan tak tercela. Tapi nanti begitu sekali saja tak tegas terhadap kasus besar korupsi, maka public akan berbalik mengecam, membenci dan mencaci-maki dia,” tegas pakar paranormal asal Banten ini.
Januar menambahkan, sebaiknya Busyro tidak cukup berbekal dengan sikapnya yang sopan atau santun seperti SBY. Karena sebagai sosok pemimpin lembaga hukum anti korupsi, Busyro harus memiliki sikap yang tegas dan berani mati dalam melakukan pemberantasan korupsi. “Makanya begitu terpilih jadi pimpinan KPK, Busyro harsu berucap inalillahi, bukan alhamdulillah. Kalau pimpinan KPK takut dikriminalisasi, sebnaiknya mucnur saja, karena masih banyak figur penggantinya yang mumpuni,” tegas pengamat Unas.
Ia pun menambahkan agar Busyro Muqoddas jangan mau ditekan penguasa ataupun elit partai politik untuk menutup-nutupi atau 'menghilangkan' kasusnya. "Asal Busyro bersikap jujur dan konsisten, pasti rakyat akan berada di belakangnya untuk membela dirinya serangkan dari rezim penguasa maupun oknum-oknum politisi," tegasnya. (ira)
“Kalau Busyro Muqoddas ternyata mencla-mencle dan tidak tegas memberantas, tidak seusai dengan janjinya dalam fit and proper test di depan DPR yang sanggup memberantas kasus-kasus besar seperti skandal Century dan kasus mafia pajak Gayus Tambunan, dia akan dihabisi oleh publik yang sekarang ini sudah geram dengan maraknya korupsi di Indonesia dan bejatnya moral aparat hukum,” tutur Januar di kampus Unas, Kamis (25/11/2010).
“Jika ternyata Busyro nanti tidak konsisten dan konsekuan dalam pemberantasan korupsi, maka dia akan diserbu oleh para demonstran dan posternya diinjak-injak. Nasibnya tidak berbeda seperti Boediono yang diteriaki maling oleh demo di DPR. Bahkan, nasib Busyro bias lebih buruk mirip Ariel Peterpan yang semula terhormat tapi akhirnya terhina,” imbuhnya.
Oleh karena itu, menurut Januar, Busyro mestinya tidak usah menajdi pimpinan KPK yang akan mendapat sorotan publik terus menerus. Kalau Busyro selama ini namanya harus sebagai dosen UII dan Ketua Komisi Yudisial (KY), lanjutnya, kini kredibilietasnya bisa jatuh mendadak jika misalnya taktu mengsuut skandal Century dan kasus Gayus. “Ini sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya,” seru mantan aktivis ini.
Jadi, tegas Januar, kalau memang Busyro setengah hati menjadi pimpinan KPK, seharsunya dulu tidak usah maju saja. “Boleh saja Busyro sementara ini dikenal sebagai figur yang bersih, jujur dan tak tercela. Tapi nanti begitu sekali saja tak tegas terhadap kasus besar korupsi, maka public akan berbalik mengecam, membenci dan mencaci-maki dia,” tegas pakar paranormal asal Banten ini.
Januar menambahkan, sebaiknya Busyro tidak cukup berbekal dengan sikapnya yang sopan atau santun seperti SBY. Karena sebagai sosok pemimpin lembaga hukum anti korupsi, Busyro harus memiliki sikap yang tegas dan berani mati dalam melakukan pemberantasan korupsi. “Makanya begitu terpilih jadi pimpinan KPK, Busyro harsu berucap inalillahi, bukan alhamdulillah. Kalau pimpinan KPK takut dikriminalisasi, sebnaiknya mucnur saja, karena masih banyak figur penggantinya yang mumpuni,” tegas pengamat Unas.
Ia pun menambahkan agar Busyro Muqoddas jangan mau ditekan penguasa ataupun elit partai politik untuk menutup-nutupi atau 'menghilangkan' kasusnya. "Asal Busyro bersikap jujur dan konsisten, pasti rakyat akan berada di belakangnya untuk membela dirinya serangkan dari rezim penguasa maupun oknum-oknum politisi," tegasnya. (ira)
DPR....... oh..... DPR
Akhir tahun selalu menjadi ajang anggota dewan baik di pusat (DPR) maupun di daerah (DPRD) jalan-jalan ke luar negeri dengan dalih studi banding.
Berkaca pada pengalaman tahun-tahun sebelumnya, perjalanan yang dibiayai uang rakyat itu, lebih cocok disebut plesiran. Hasil perjalanan nyaris tidak berguna buat rakyat. Sebaliknya, anggota dewan yang kerap menyebut diri terhormat itu, bangga atas wisata plus plus ke luar negeri. Jalan-jalan dapat, uang saku apalagi.
Baru-baru ini, anggota DPR melakukan perjalanan ke beberapa negara Eropa. Padahal, jauh hari sebelum plesiran studi banding itu, berbagai kelompok rakyat sudah mengecam. Namun seakan tuli, memekakkan telinga dan membutakan mata, para wakil itu bergeming dengan keputusannya.
Konon kabarnya, saat kunjungan ke Turki, para wakil itu plesiran menikmati tari perut yang erotis. Kabar itu tentunya membuat geram rakyat di tanah Air. Wajar apabila anak-anak muda yang tergabung dalam kelompok lembaga swadaya masyarakat atau mahasiswa melakukan demo di depan gedung DPR, atau melempari mobil pimpinan DPR dengan telur.
Perbuatan orang-orang pusat itu tentu saja menginspirasi orang daerah. Sejak 22 November 2010 lalu sampai tanggal 29, sebanyak 15 anggota DPRD Riau berada di Swiss. Plesiran itu berbalut mempelajari masalah transportasi dan pertanian di negara penghasil jam tangan dan coklat terkenal itu.
Persoalannya, perjalanan anggota DPRD Riau itu terkesan diam-diam. Media kecolongan. Bahkan, ketika ditanya wartawan, Ketua DPRD Riau Johar Firdaus mengaku tidak tahu ke mana anggotanya berangkat, tujuan keberangkatan dan berapa dana yang dihabiskan. Namun, Johar mengakui belasan anggota DPRD Riau memang tengah berada di Eropa.
Perkembangan terbaru mengungkapkan, keberangkatan ke Swiss itu merupakan kelompok pertama. Pada tanggal 1 Desember 2010 ini, bakal ada kelompok lebih besar menuju Belanda dan Perancis.
Sama seperti di Jakarta, berbagai elemen masyarakat langsung bersuara tajam menanggapi keberangkatan itu. Koran Tribun Pekanbaru yang mengumpulkan suara masyarakat, memuat suara kekecewaan bercampur sikap apatis.
Kecewa karena setiap tahun anggota dewan berangkat ke luar negeri, namun tidak ada hasil buat rakyat. Tahun 2010 ini, anggaran plesiran DPRD Riau bernilai sekitar Rp 3,5 miliar. Mengapa anggota dewan gemar menghambur-hamburkan uang rakyat? Bukankah uang itu lebih baik dipakai untuk membangun sekolah atau prasarana desa yang lebih menyentuh kebutuhan.
Adapula yang bernada apatis. Mereka sudah tidak peduli dengan kelakuan wakil rakyat itu. Terserah dewan mau berbuat apa, toh suara rakyat tidak pernah didengar. Yang membuat program jalan-jalan mereka, yang membuat anggaran mereka dan yang menggolkan program itu juga mereka. Prinsip dewan hanya satu, dari kita, buat kita untuk kita.
Tujuan studi banding
Ada kelompok yang mencoba menganalisis tujuan keberangkatan. Taruhlah anggota DPRD Riau, memang benar-benar bekerja belajar tentang pertanian dan transportasi di Swiss.
Pertanyaannya, apakah metoda atau pola pertanian empat musim yang canggih di Swiss cocok diterapkan petani Riau yang masih tradisional? Bukankah lebih baik belajar pertanian ke Sumatera Barat atau Sumatera Barat, tetangga terdekat Riau yang iklimnya sama dan lebih dahulu maju soal pertanian. Mengapa tidak belajar pertanian kepada Jawa Barat, Jawa Tengah atau Jawa Timur yang dikenal memiliki pola dan metoda paling baik di Indonesia.
Soal transportasi, apanya yang mau dipelajari? Yang perlu dibenahi di Riau adalah sarana dan prasarana transportasi yang minim. Untuk itu tidak perlu jauh-jauh. Cukup ke Jakarta saja. Malah di Jakarta dapat bonus mempelajari penyebab kemacetan agar di Riau tidak muncul persoalan sama pada masa mendatang.
Wisata
Uniknya, Mukhniarti salah seorang anggota DPRD Riau sepert dikutip Tribun Pekanbaru membantah apabila perjalanan mereka sekadar jalan-jalan. Menurut anggota fraksi Partai Demokrat itu, banyak yang dapat diambil dari Swiss. Misalnya, kereta gantung di lokasi wisata Swiss dapat diaplikasikan di Danau Buatan (sebuah waduk kecil di kota Pekanbaru). Lho, katanya tujuan ke Swiss belajar tentang transportasi dan pertanian?
Lalu mengapa sekarang bicara tentang wisata? Studi banding atau wisata? Ternyata benar dugaan masyarakat, perjalanan itu cuma plesir. Kalau Cuma soal kereta gantung, tidak perlu ke Swiss, cukup ke Taman Mini Indonesia Indah di Jakarta, atau ke Tenggarong di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Masih soal wisata, anggota DPRD Riau periode 2004-2009 pada tahun 2008 pernah melakukan plesiran studi banding ke Mesir dan Perancis dengan dalih mempelajari pariwisata. Mengapa sekarang ada perjalanan pariwisata lagi? Mengapa setelah perjalanan tahun 2008 itu, tidak ada pariwisata Riau yang berkembang? Apanya yang dipelajari dari Mesir dan Perancis dulu?
Uniknya lagi, sebagian dari anggota DPRD Riau yang berangkat ke Swiss itu ternyata bukan berasal dari komisi yang membidangi soal pertanian dan transportasi. Jadi, buat apa orang-orang itu ikut? Weleh-weleh.
<span>Sanksi dan kecam</span>
Jajak pendapat tentang keberangkatan anggota DPRD Riau, juga dilakukan oleh Solidaritas Wartawan untuk Transportasi (Sowat) Riau. Hasilnya, nyaris 100 persen responden memberikan respon negatif. Johny Setiawan Mundung, salah seorang tokoh pemuda Riau menyatakan, partai anggota dewan yang berangkat itu harus memberikan sanksi.
Kalau partainya tidak mau memberi sanksi, masyarakat yang harus menghukum dengan tidak memilih lagi sang dewan dan partainya pada pemilu mendatang. Menurut Mundung, haram hukumnya memilih anggota dewan dan partainya itu.
Hariansyah Usman, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Riau juga mengecam keberangkatan anggota DPRD Riau itu. Kaka, demikian panggilan akrab Hariansyah mengatakan, semestinya, anggota DPRD Riau lebih peduli persoalan lingkungan hidup di Riau yang termasuk paling amburadul di Indonesia.
Jajak pendapat
Kalau saja dilakukan jajak pendapat di seluruh Indonesia, tentang studi banding anggota DPR atau DPRD ke luar negeri, hampir pasti suara rakyat yang tidak setuju lebih banyak daripada yang setuju. Kalau tidak percaya, silakan lembaga survei besar di Jakarta melakukannya.
Sebenarnya, rakyat Indonesia sudah muak dan tidak ingin wakilnya ke luar negeri lagi. Warga di mana saja sudah bersuara tidak, namun mengapa DPR dan DPRD tetap membandel. Tidakkah anggota dewan sadar, bahwa adagium politik mengatakan vox populei vox dei yang berarti suara rakyat adalah suara Tuhan.
Mengapa anggota DPR/DPRD itu tidak mau mendengar suara Tuhan? Kalau mau dibuat sebuah analogi, plesiran anggota Dewan ke luar negeri ibarat cerai pada hukum Islam. Perceraian adalah sah, namun merupakan perbuatan yang dibenci Tuhan...
Berkaca pada pengalaman tahun-tahun sebelumnya, perjalanan yang dibiayai uang rakyat itu, lebih cocok disebut plesiran. Hasil perjalanan nyaris tidak berguna buat rakyat. Sebaliknya, anggota dewan yang kerap menyebut diri terhormat itu, bangga atas wisata plus plus ke luar negeri. Jalan-jalan dapat, uang saku apalagi.
Baru-baru ini, anggota DPR melakukan perjalanan ke beberapa negara Eropa. Padahal, jauh hari sebelum plesiran studi banding itu, berbagai kelompok rakyat sudah mengecam. Namun seakan tuli, memekakkan telinga dan membutakan mata, para wakil itu bergeming dengan keputusannya.
Konon kabarnya, saat kunjungan ke Turki, para wakil itu plesiran menikmati tari perut yang erotis. Kabar itu tentunya membuat geram rakyat di tanah Air. Wajar apabila anak-anak muda yang tergabung dalam kelompok lembaga swadaya masyarakat atau mahasiswa melakukan demo di depan gedung DPR, atau melempari mobil pimpinan DPR dengan telur.
Perbuatan orang-orang pusat itu tentu saja menginspirasi orang daerah. Sejak 22 November 2010 lalu sampai tanggal 29, sebanyak 15 anggota DPRD Riau berada di Swiss. Plesiran itu berbalut mempelajari masalah transportasi dan pertanian di negara penghasil jam tangan dan coklat terkenal itu.
Persoalannya, perjalanan anggota DPRD Riau itu terkesan diam-diam. Media kecolongan. Bahkan, ketika ditanya wartawan, Ketua DPRD Riau Johar Firdaus mengaku tidak tahu ke mana anggotanya berangkat, tujuan keberangkatan dan berapa dana yang dihabiskan. Namun, Johar mengakui belasan anggota DPRD Riau memang tengah berada di Eropa.
Perkembangan terbaru mengungkapkan, keberangkatan ke Swiss itu merupakan kelompok pertama. Pada tanggal 1 Desember 2010 ini, bakal ada kelompok lebih besar menuju Belanda dan Perancis.
Sama seperti di Jakarta, berbagai elemen masyarakat langsung bersuara tajam menanggapi keberangkatan itu. Koran Tribun Pekanbaru yang mengumpulkan suara masyarakat, memuat suara kekecewaan bercampur sikap apatis.
Kecewa karena setiap tahun anggota dewan berangkat ke luar negeri, namun tidak ada hasil buat rakyat. Tahun 2010 ini, anggaran plesiran DPRD Riau bernilai sekitar Rp 3,5 miliar. Mengapa anggota dewan gemar menghambur-hamburkan uang rakyat? Bukankah uang itu lebih baik dipakai untuk membangun sekolah atau prasarana desa yang lebih menyentuh kebutuhan.
Adapula yang bernada apatis. Mereka sudah tidak peduli dengan kelakuan wakil rakyat itu. Terserah dewan mau berbuat apa, toh suara rakyat tidak pernah didengar. Yang membuat program jalan-jalan mereka, yang membuat anggaran mereka dan yang menggolkan program itu juga mereka. Prinsip dewan hanya satu, dari kita, buat kita untuk kita.
Tujuan studi banding
Ada kelompok yang mencoba menganalisis tujuan keberangkatan. Taruhlah anggota DPRD Riau, memang benar-benar bekerja belajar tentang pertanian dan transportasi di Swiss.
Pertanyaannya, apakah metoda atau pola pertanian empat musim yang canggih di Swiss cocok diterapkan petani Riau yang masih tradisional? Bukankah lebih baik belajar pertanian ke Sumatera Barat atau Sumatera Barat, tetangga terdekat Riau yang iklimnya sama dan lebih dahulu maju soal pertanian. Mengapa tidak belajar pertanian kepada Jawa Barat, Jawa Tengah atau Jawa Timur yang dikenal memiliki pola dan metoda paling baik di Indonesia.
Soal transportasi, apanya yang mau dipelajari? Yang perlu dibenahi di Riau adalah sarana dan prasarana transportasi yang minim. Untuk itu tidak perlu jauh-jauh. Cukup ke Jakarta saja. Malah di Jakarta dapat bonus mempelajari penyebab kemacetan agar di Riau tidak muncul persoalan sama pada masa mendatang.
Wisata
Uniknya, Mukhniarti salah seorang anggota DPRD Riau sepert dikutip Tribun Pekanbaru membantah apabila perjalanan mereka sekadar jalan-jalan. Menurut anggota fraksi Partai Demokrat itu, banyak yang dapat diambil dari Swiss. Misalnya, kereta gantung di lokasi wisata Swiss dapat diaplikasikan di Danau Buatan (sebuah waduk kecil di kota Pekanbaru). Lho, katanya tujuan ke Swiss belajar tentang transportasi dan pertanian?
Lalu mengapa sekarang bicara tentang wisata? Studi banding atau wisata? Ternyata benar dugaan masyarakat, perjalanan itu cuma plesir. Kalau Cuma soal kereta gantung, tidak perlu ke Swiss, cukup ke Taman Mini Indonesia Indah di Jakarta, atau ke Tenggarong di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Masih soal wisata, anggota DPRD Riau periode 2004-2009 pada tahun 2008 pernah melakukan plesiran studi banding ke Mesir dan Perancis dengan dalih mempelajari pariwisata. Mengapa sekarang ada perjalanan pariwisata lagi? Mengapa setelah perjalanan tahun 2008 itu, tidak ada pariwisata Riau yang berkembang? Apanya yang dipelajari dari Mesir dan Perancis dulu?
Uniknya lagi, sebagian dari anggota DPRD Riau yang berangkat ke Swiss itu ternyata bukan berasal dari komisi yang membidangi soal pertanian dan transportasi. Jadi, buat apa orang-orang itu ikut? Weleh-weleh.
<span>Sanksi dan kecam</span>
Jajak pendapat tentang keberangkatan anggota DPRD Riau, juga dilakukan oleh Solidaritas Wartawan untuk Transportasi (Sowat) Riau. Hasilnya, nyaris 100 persen responden memberikan respon negatif. Johny Setiawan Mundung, salah seorang tokoh pemuda Riau menyatakan, partai anggota dewan yang berangkat itu harus memberikan sanksi.
Kalau partainya tidak mau memberi sanksi, masyarakat yang harus menghukum dengan tidak memilih lagi sang dewan dan partainya pada pemilu mendatang. Menurut Mundung, haram hukumnya memilih anggota dewan dan partainya itu.
Hariansyah Usman, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Riau juga mengecam keberangkatan anggota DPRD Riau itu. Kaka, demikian panggilan akrab Hariansyah mengatakan, semestinya, anggota DPRD Riau lebih peduli persoalan lingkungan hidup di Riau yang termasuk paling amburadul di Indonesia.
Jajak pendapat
Kalau saja dilakukan jajak pendapat di seluruh Indonesia, tentang studi banding anggota DPR atau DPRD ke luar negeri, hampir pasti suara rakyat yang tidak setuju lebih banyak daripada yang setuju. Kalau tidak percaya, silakan lembaga survei besar di Jakarta melakukannya.
Sebenarnya, rakyat Indonesia sudah muak dan tidak ingin wakilnya ke luar negeri lagi. Warga di mana saja sudah bersuara tidak, namun mengapa DPR dan DPRD tetap membandel. Tidakkah anggota dewan sadar, bahwa adagium politik mengatakan vox populei vox dei yang berarti suara rakyat adalah suara Tuhan.
Mengapa anggota DPR/DPRD itu tidak mau mendengar suara Tuhan? Kalau mau dibuat sebuah analogi, plesiran anggota Dewan ke luar negeri ibarat cerai pada hukum Islam. Perceraian adalah sah, namun merupakan perbuatan yang dibenci Tuhan...
Langganan:
Postingan (Atom)